Oleh, Harianto: Putra Daerah Dan Karumpi Batu
BAUBAU - Pilkada Baubau tahun ini benar-benar mengguncang panggung politik lokal. Harapan akan pesta demokrasi yang santun seolah tenggelam dalam hiruk-pikuk isu "putra daerah" dan serangan politik kotor. Alih-alih menyajikan debat visi dan program, Pilkada ini justru dipenuhi taktik licik dan kampanye hitam yang mengancam integritas demokrasi Baubau. Sabtu (12/10/2024).
Baca juga:
Tony Rosyid: Jokowi vs SBY
|
Politik Santun, Sekadar Basa-basi?
Setiap kali Pilkada digelar, para kandidat selalu berjanji akan mengedepankan politik santun. Namun kenyataannya, janji tinggal janji. Saat pertempuran untuk merebut suara semakin sengit, batasan etika seolah dilupakan. Dari belakang layar, tim sukses bergerak dengan taktik yang jauh dari kata santun, mulai dari menyebar rumor hingga memainkan isu SARA untuk menjatuhkan lawan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Demokrat Dalam Jebakan PDIP?
|
Puncaknya, isu "putra daerah" dijadikan senjata utama. Kandidat yang dianggap bukan asli Baubau dihantam habis-habisan dengan narasi bahwa hanya mereka yang "berdarah Baubau" yang pantas memimpin. Pertanyaannya, apakah asal daerah benar-benar menentukan kapasitas kepemimpinan?
Putra Daerah: Antara Kualitas dan Populisme
Baca juga:
Rekam Jejak Anies di Jakarta
|
Narasi putra daerah yang terus dihembuskan ini menciptakan ilusi bahwa siapa yang lahir dan besar di daerah itulah yang paling mengerti kebutuhan masyarakatnya. Padahal, kapasitas seorang pemimpin tidak bisa diukur dari tempat kelahirannya, melainkan dari ide besar, program nyata, dan kemampuan untuk mewujudkannya. Pilkada seharusnya menjadi ajang adu visi, bukan tempat bagi politik identitas sempit.
Lebih ironis lagi, banyak kandidat yang justru terjebak dalam permainan ini. Alih-alih fokus menawarkan program yang konstruktif, mereka sibuk mempertahankan citra sebagai "putra daerah sejati" untuk menggaet simpati pemilih.
Baca juga:
Anies Bakal Melanjutkan IKN?
|
Karumpi Batu": Serangan Kotor yang Berbahaya
Isu "Karumpi" atau tudingan "kikir" menjadi senjata berikutnya dalam politik Baubau. Kandidat yang dicitrakan sebagai "kikir" dianggap tidak peduli dengan rakyat dan hanya ingin mencari keuntungan pribadi. Meski sering kali tudingan ini tidak didukung bukti yang jelas, strategi ini cukup ampuh untuk memengaruhi persepsi publik. Kampanye negatif seperti ini memanfaatkan emosi masyarakat, membuat perdebatan seputar gagasan pembangunan tersingkir dari panggung utama.
Demokrasi di Titik Kritis
Dengan serangan personal dan narasi identitas yang terus mendominasi, demokrasi di Baubau kini berada di ujung tanduk. Harapan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar kompeten mulai pudar, digantikan oleh ketakutan bahwa politik identitas akan kembali memenangkan pertempuran. Jika praktik seperti ini terus berlanjut, demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan dan transparansi akan hancur di tangan kepentingan pribadi.
Akankah Masyarakat Tersadar?
Di balik segala intrik politik ini, pertanyaan besar muncul: akankah masyarakat Baubau tersadar dari permainan politik kotor ini? Pemilih memiliki kekuatan untuk mengubah arah Pilkada, namun apakah mereka akan memilih berdasarkan narasi identitas atau melihat jauh ke dalam kapasitas dan visi calon pemimpin?
Sisa waktu menuju hari pemilihan sangat krusial. Di tengah badai politik kotor dan isu putra daerah, harapan masih ada jika masyarakat berani melawan narasi sempit dan memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Seribu Cara Jegal Anies
|
Namun, jika politik kotor terus menjadi senjata utama, demokrasi Baubau akan terus terpuruk dalam bayang-bayang masa lalu. Hanya waktu yang akan membuktikan, apakah Pilkada ini akan mencatatkan sejarah sebagai momen kebangkitan demokrasi, atau justru menjadi titik balik yang kelam.
Akan Berubahkah?
Pilkada Baubau ini menjadi ujian besar bagi demokrasi lokal. Apakah masyarakat akan terus terjebak dalam isu putra daerah dan politik identitas, atau justru mampu bangkit dan menuntut politik yang lebih sehat dan beradab? Jawabannya ada di tangan para pemilih, yang memiliki kekuatan untuk menentukan arah perubahan.